Sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia. Sekolah
yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR). Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda.
Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas ditanah jajahannya). Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI. Juga disusul beberapa fakultas lainya.
Di Bandung dimana bung Karno sekolah juga berasal dari sekolah teknik THS (1920) dan di Bogor dibuat juga sekolah perkebunan (1941) adalah cikal bakal IPB sekarang. Bila kemudian didirikan UI (1950) atau UGM (1945) adalah leburan dari yang sudah ada dan kemudian ditambahkan fakultas lainnya. Perlu dicatat pula universitas tua lainnya seperti ITB (1959), IPB (1963), Unair (1963), dan universitas swasta tertua kita adalah UII (1948). Barangkali bisa dimaklumi bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat muda dibanding pendidikannya Plato. Walaupun sebenarnya sejak jamannya pangeran Aji Saka (abad 3) telah diperkenalkan huruf jawa dengan mencontoh huruf di India selatan, jadi pemerintahan Jawa Dwipa sudah mengenal pendidikan.
Demikian pula abad 5 pendeta Budha memperkenalkan ajarannya (tentunya mengandung unsur pendidikan. Berdirinya Borobudur boleh di anggap sebagai parameter tingginya ilmu arsitektur (diabad 8) oleh Raja Sailendra Samaratungga. Dicatat pula Candi Prambanan (Hindu) yang elok itu dibangun di abad 9 jamannya raja Sanjaya. Raja agung Airlangga (1019) boleh dianggap raja paling toleran dan melindungi umat berbeda agama (hal ini tentunya tidak terjadi sebelumnya). Tidak kurang di Indonesia juga ada ahli filosuf atau mungkin sebagai nabinya wong jowo yaitu Raja Joyoboyo (1157), siapa yang tak kenal dengan primbonnya Joyo boyo.
Namun sayang selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia selalu disertai dengan perang saudara (jauh sebelum Belanda datang, sudah cakar-cakaran, jangan hanya Belanda yang disalahkan sebagai provokator dengan politik adu kambinya, ternyata bakat ini belum hilang sampai sekarang). Bahkan Patih Gadjah Mada yang dianggap pemersatupun (dengan sumpahnya yang sakti) adalah hanya untuk penguasaan dan menunjukkan kehebatan Majapahit. Tentu ini juga berpengaruh pada pendidikan secara umum, dan sebaliknya bisa jadi pendidikan ikut mempengaruhinya. Menengok perjalanan sejarah bangsa Indonesia perlu dibahas tersendiri.
Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama. Dari gambaran diatas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim social budaya dan politik ikut berperan. Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.
Dimana Peter Drucker melihat pergeseran kebutuhan manusia, dari ekonomi yang berbasiskan benda tak bergerak dan jasa menuju ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan, perlu di renungkan. Lebih jauh Drucker mengemukakan bahwa tahapan agraris, industri dan kini informasi adalah tidak lama lagi tergeser pada era inovasi. Apa itu inovasi dan persyaratannya adalah bahan pekerjaan rumah bersama. Bila generasi kita saat ini setress gara-gara tidak tahu bahasa jawanya anak kerbau, atau hafalan lainya. Jangan disalahkan bila kemudian hari negara Indonesia menjadi negara terbelakang yang menunggu petunjuk, menunggu pemerintahannya waras, menunggu dan menunggu. Namun untung ada film anak-anak pokemon, digimon, tweenies, bob builder dan sejenisnya yang barangkali jadi hiburan anak sekaligus menjadi sarana berfantasi sambil berinovasi, dari pada ngerjakan PR paket pendidikan yang sarat dengan indokrinasi hukum-hukum matematika dan hukum lainnya yang harus dipatuhi tanpa syarat.
Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sampai Sekarang
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Knowledge is power
Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.
Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.
Pendidikan Masa Hindu-Buddha
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
Pendidikan Masa Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.
Pendidikan Masa Kolonial
Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren.
Pendidikan: Berawal dari Keluarga
Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana pembelajaran.
Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam.
Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi.
Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar