Minggu, 22 Mei 2011

Macam-macam Model Pembelajaran Untuk Mengatasi Masalah Pendidikan IPS

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Masalah

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) pada jenjang pendidikan dasar memfokuskan kajiannya kepada hubungan antar manusia dan proses membantu pengembangan kemampuan dalam hubungan tersebut. Pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dikembangkan melalui kajian ini ditunjukan untuk mencapai keserasian dan keselarasan dalam kehidupan masyarakat.
Pendidikan IPS sudah lama dikembangkan dan dilaksanakan dalam kurikulum-kurikulum di Indonesia, khususnya pada jenjang pendidikan dasar. Pendidikan ini tidak dapat disangkal telah membawa beberapa hasil, walaupun belum optimal. Secara umum penguasaan pengetahuan sosial atau kewarganegaraan lulusan pendidikan dasar relatif cukup, tetapi penguasaan nilai dalam arti penerapan nilai, keterampilan sosial dan partisipasi sosial hasilnya belum menggembirakan. Kelemahan tersebut sudah tertentu terkait atau dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan atau pembelajarannya, kurikulum, para pengelola dan pelaksananya serta faktor-faktor yang berpengaruh lainnya.
Beberapa temuan penelitian dan pengamatan ahli memperkuat kesimpulan tersebut. Dalam segi hasil atau dampak pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial atau IPS terhadap kehidupan bermasyarakat, masih belum begitu nampak. Perwujudan nilai-nilai sosial yang dikembangkan di sekolah belum nampak dalam kehidupan sehari-hari, keterampilan sosial para sosial para lulusan pendidikan dasar khususnya masih memprihatinkan, partisipasi dalam berbagai kegiatan kemasyarakatan semakin menyusut.
Banyak penyebab yang melatarbelakangi pendidikan IPS belum dapat memberikan hasil seperti yang diharapkan. Faktor penyebabnya dapat berpangkal dari kurikulum, rancangan, pelaksana, pelaksanaan ataupun faktor-faktor pendukung pembelajaran. Berkenaan dengan kurikulum dan rancangan pembelajaran IPS, beberapa penelitian memberi gambaran tentang kondisi tersebut. Hasil penelitian Balitbang, Depdikbud tahun 1999 menyebutkan bahwa “Kurikulum 1994 tidak disusun berdasarkan basic competencies melainkan pada materi, sehingga dalam kurikulumnya banyak memuat konsep-konsep teoritis” (Boediono, et al. 1999: 84). Hasil evaluasi kurikulum IPS SD tahun 1994 menggambarkan adanya kesenjangan kesiapan siswa dengan bobot materi sehingga materi yang disajikan, terlalu dianggap sulit bagi siswa, kesenjangan antara tuntutan materi dengan fasilitas pembelajaran dan buku sumber, kesulitan menejemen waktu serta keterbatasan kemampuan melakukan pembaharuan metode mengajar (Depdikbud, 1999).
Dalam implementasi materi Muchtar, SA. (1991) menemukan IPS lebih menekankan aspek pengetahuan, berpusat pada guru, mengarahkan bahan berupa informasi yang tidak mengembangkan berpikir nilai serta hanya membentuk budaya menghafal dan bukan berpikir kritis. Dalam pelaksanaan Soemantri, N. (1998) menilai pembelajaran IPS sangat menjemukan karena penyajiannya bersifat monoton dan ekspositoris sehingga siswa kurang antusias dan mengakibatkan pelajaran kurang menarik padahal menurut Sumaatmadja, N. (1996: 35) guru IPS wajib berusaha secara optimum merebut minat siswa karena minat merupakan modal utama untuk keberhasilan pembelajaran IPS.
Selanjutnya Como dan Snow (dalam Syafruddin, 2001: 3) menilai bahwa model pembelajaran IPS yang diimplementasikan saat ini masih bersifat konvensional sehingga siswa sulit memperoleh pelayanan secara optimal. Dengan pembelajaran seperti itu maka perbedaan individual siswa di kelas tidak dapat terakomodasi sehingga sulit tercapai tujuan-tujuan spesifik pembelajaran terutama bagi siswa berkemampuan rendah. Model pembelajaran saat ini juga lebih menekankan pada aspek kebutuhan formal dibanding kebutuhan real siswa sehingga proses pembelajaran terkesan sebagai pekerjaan administratif dan belum mengembangkan potensi anak secara optimal.
Berdasarkan hal-hal di atas nampak, bahwa pada satu sisi betapa pentingnya peranan pendidikan IPS dalam mengembangkan pengetahuan, nilai. Sikap, dan keterampilan sosial agar siswa menjadi warga masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang baik namun di pihak lain masih banyak masalah-masalah tersebut diperlukan penelitian berkaitan dengan pembelajaran IPS. Salah satu upaya yang memadai untuk itu adalah dengan melakukan model pembelajaran.

2. Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi pokok permasalahan dari penulisan makalah ini adalah :
1) Apa itu pendidikan IPS?
2) Apa saja permasalahan pendidikan IPS di sekolah dasar?
3) Apa yang dimaksud dengan model pembelajaran?
4) Bagaimana mengembangkan model pembelajaran untuk mengatasi masalah pendidikan IPS di sekolah dasar?
3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:
1) Untuk menjelaskan tentang pendidikan IPS.
2) Menggambarkan permasalahan pendidikan IPS .
3) Untuk menjelaskan tentang model pembelajaran.
4) Mendeskripsikan pengembangan model pembelajaran untuk mengatasi masalah pendidikan IPS .

4. Manfaat Penulisan

Dengan adanya penulisan makalah yang bertajuk tentang pengembangan model pembelajaran untuk mengatasi masalah pendidikan IPS di Sekolah Dasar maka seluruh pihak yang memiliki keterkaitan dengan masalah tersebut bisa memahami apa yang menjadi pokok permasalahan yang terjadi. Agar nantinya masalah tersebut tidak menjadi masalah yang menghambat maksud ataupun tujuan yang ingin dicapai. Selain itu dalam penulisan makalah ini apa yang menjadi solusi dalam pemecahan masalah bisa ditemukan dan pihak-pihak yang terkait dapat mengembangkan potensi diri dalam mengelolah teknik model pembelajaran yang baik dan efisien.

BAB II

PEMBAHASAN

1. Pendidikan IPS

IPS adalah suatu bahan kajian yang terpadu yang merupakan penyederhanaan, adaptasi, seleksi dan modifikasi yang diorganisasikan dari konsep-konsep dan keterampilan-keterampilan Sejarah, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Ekonomi (Puskur, 2001: 9). Geografi, Sejarah dan Antropologi merupakan disiplin ilmu yang memiliki keterpaduan yang tinggi. Pembelajaran Geografi memberikan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dengan wilayah-wilayah, sedangkan Sejarah memberikan kebulatan wawasan berkenaan dengan peristiwa-peristiwa dari berbagai periode. Antropologi meliputi studi-studi komparatif yang berkenaan dengan nilai-nilai kepercayaan, struktur sosial, aktivita-aktivitas ekonomi, organisasi politik, ekspresi-ekpresi dan spritual, teknologi, dan benda-benda budaya dari budaya-budaya terpilih. Ilmu Ekonomi tergolong kedalam ilmu-ilmu tentang kebijakan pada aktivitas-aktivitas yang berkenaan dengan pembuatan keputusan. Sosiologi merupakan ilmu-ilmu tentang perilaku seperti konsep peran, kelompok, institusi, proses interaksi dan kontrol sosial.
Muriel Crosby menyatakan bahwa IPS diidentifikasi sebagai studi yang memperhatikan pada bagaimana orang membangun kehidupan yang lebih baik bagi dirinya dan anggota keluarganya, bagaimana orang memecahkan masalah-masalah, bagaimana orang hidup bersama, bagaimana orang mengubah dan diubah oleh lingkungannya (Leonard S. Kenworthi, 1981:7). IPS menggambarkan interaksi individu atau kelompok dalam masyarakat baik dalam lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Interaksi antar individu dalam ruang lingkup lingkungan mulai dari yang terkecil misalkan keluarga, tetangga, rukun tetangga atau rukun warga, desa/kelurahan, kecamatan, kabupaten, provinsi, negara dan dunia.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa Pendidikan IPS adalah disiplin ilmu-ilmu sosial ataupun integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, dan antropologi yang mempelajari masalah-masalah sosial.
Pendidikan IPS telah mengintegrasikan bahan pelajaran tersebut dalam satu bidang studi. Materi pelajaran IPS merupakan penggunaan konsep-konsep dari ilmu sosial yang terintegrasi dalam tema-tema tertentu. Misalkan materi tentang pasar, maka harus ditampilkan kapan atau bagaimana proses berdirinya (sejarah), dimana pasar itu berdiri (Geografi), bagaimana hubungan antara orang-orang yang berada di pasar (Sosiologi), bagaimana kebiasaan-kebiasaan orang menjual atau membeli di pasar (Antropologi) dan berapa jenis-jenis barang yang diperjualbelikan (Ekonomi).
Dengan demikian Pendidikan IPS di sekolah dasar adalah disiplin ilmu-ilmu sosial seperti yang disajikan pada tingkat menengah dan universitas, hanya karena pertimbangan tingkat kecerdasan, kematangan jiwa peserta didik, maka bahan pendidikannya disederhanakan, diseleksi, diadaptasi dan dimodifikasi untuk tujuan institusional didaksmen (Sidiharjo, 1997).
2. Permasalahan Pendidikan IPS
Tujuan utama Ilmu Pengetahuan Sosial ialah untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS di sekolah diorganisasikan secara baik. Dari rumusan tujuan tersebut dapat dirinci sebagai berikut (Awan Mutakin, 1998).
1) Memiliki kesadaran dan kepedulian terhadap masyarakat atau lingkungannya, melalui pemahaman terhadap nilai-nilai sejarah dan kebudayaan mastarakat.
2) Mengetahui dan memahami konsep dasar dan mampu menggunakan metode yang diadaptasi dari ilmu-ilmu sosial yang kemudian dapat digunakan untuk memecahkan masalah-masalah sosial.
3) Mampu menggunakan model-model dan proses berpikir serta membuat keputusan untuk menyelesaikan isu dan masalah yang berkembang di masyarakat.
4) Menaruh perhatian terhadap isu-isu dan masalah-masalah sosial, serta mampu membuat analisis yang kritis, selanjutnya mampu mengambil tindakan yang tepat.
5) Mampu mengembangkan berbagai potensi sehingga mampu membangun diri sendiri agar survive yang kemudian bertanggung jawab membangun masyarakat.
Menurut Noman Sumantri bahwa tujuan Pendidikan IPS pada tingkat sekolah adalah:
1) Menekankan tumbuhnya nilai kewarganegaraan, moral, ideologi negara dan agama.
2) Menekankan pada isi dan metode berfikir ilmuwan.
3) Menekankan reflective inquiry.
PIPS menurut NCCS mempunyai tujuan informasi dan pengetahuan (knowledge and information), nilai dan tingkah laku (attitude and values), dan tujuan keterampilan (skill): sosial, bekerja dan belajar, kerja kelompok, dan keterampilan intelektual (Jarolimele, 1986: 5-8).
Secara umum, pencapaian tujuan Pendidikan IPS lulusan pendidikan SD belumlah optimal. Kelemahan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak hal, terutama proses pendidikan dan pembelajarannya.
Dalam proses pendidikan IPS , pembelajarannya kurang memperhatikan karakteristik anak usia sekolah dasar, yakni terkait dengan perkembangan psikologis siswa. Menurut Jean Piaget (1963), anak dalam kelompok usia SD (6-12 tahun) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan konkrit operasional. Mereka memandang dunia dalam keseluruhan yang utuh dan menganggap tahun yang akan datang sebagai waktu yang masih jauh. Yang mereka pedulikan adalah sekarang (=konkrit) dan bukan masa depan yang belum bisa mereka pahami (=abstrak). Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, kesinambungan (continuity) arah mata angin, lingkungan, ritual, akulturasi, kekuasaan, demokrasi, nilai, peranan, permintaan atau kelangkaan adalah konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD.
Jika hal ini dibiarkan terus, maka pembelajaran IPS dapat menjadi pelajaran yang membosankan bagi siswa. Dan baik secara langsung maupun tidak akan berdampak pada tujuan pendidikan IPS yang diharapkan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukanlah model pembelajaran yang sesuai untuk materi IPS dan memperhatikan
karakteristik anak usia SD.

3. Model Pembelajaran

1) Pengertian Model Belajar-Mengajar
Dalam keseharian istilah ‘model’ dimaksudkan terhadap pola atau bentuk yang akan menjadi acuan. Dalam konteks pendidikan agaknya tidak jauh juga maknanya, yakni sebagai kerangka konseptual berkenaan dengan rancangan yang berisi langkah teknis dalam kesatuan strategis yang harus dilakukan dalam mendorong terjadinya situasi pendidikan; dalam wujud perilaku belajar dan mengajar dengan kecenderungan berbeda antara satu dengan lainnya atau dengan yang biasanya. Dengan demikian sebuah model dalam konteks pembelajaran, tidaklah dapat diterima sebagai sebuah model jika tidak memperliahatkan ciri khususnya sebagai sesuatu yang berbeda dari yang lainnya. Adapun menurut Sarifudin (Wahab, Azis, 1990: 1) yang dimaksud dengan ‘model belajar mengajar’ adalah “kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang terorganisasikan secara sistematik dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, yang berfungsi sebagai pedoman bagi perancang pengajaran dan para guru dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar”. Dengan demikian, model belajar-mengajar khususnya dapat diartikan sebagai satuan cara, yang berisi prosedur, langkah teknis yang harus dilakukan dalam mendekati sasaran proses dan hasil belajar hingga mencapai efektifitasnya, menurut kesesuaian dengan setting waktu, tempat dan subjek ajarnya.

2) Macam-macam Model Mengajar

a. Model-model Pemrosesan
Model-model yang berorientasi pada kemampuan pemrosesan informasi dari siswa dan cara memperbaiki kemampuannya dalam menguasai informasi, merujuk pada cara orang menangani stimulus dari lingkungannya, mengorganisasikan data, menginderai masalah, melahirkan konsep dan pemecahan masalah, dan menggunakan simbol verbal da non-verbal. Sungguhpun model-model yang termasuk ke dalam rumpun ini berkesan akademik namun tetap peduli akan hubungan sosial dan pengembangan diri. Model-model yang termasuk dalam rumpun ini antara lain adalah; Model Berpikir (Inquiry Training Model), Inkuiri Ilmiah (Scientific Inquiry), Perolehan Konsep (Concept), Model Advance Organizer (Advance Organizer Model), dan Ingatan (Memory). Model berpikir yang dikembangkan Hilda Taba, dirancang terutama untuk pengembangan proses mental induktif dan penalaran akademik atau pembentukan teori, namun kapasitasnya berguna pula untuk pengembangan personal dan sosial.

b. Model-model Personal
Model-model yang termasuk ke dalam rumpun personal berorientasi pada pengembangan diri individu, model-model ini menekankan proses pembentukan individu dalam mengorganosasikan realitasnya yang unik. Fokus pengembangan diri berkesan menekankan pada pembinaan emosional antara individu dalam hubungan produktif dengan lingkungannya hingga diharapkan menghasilkan hubungan interpersonal yang lebih kaya dan kemampuan pemrosesan yang lebih efektif lagi. Terliput ke dalam rumpun ini adalah; Pengajaran Non-Direktif (Non-directive Teaching), Pelatihan Kesadaran (Awraness Training), Sinektic (Synectics), Sistem Konseptual (Conceptual System) dan Pertemuan Kelas (Classroom Meeting).

c. Model-model Interaksi Sosial
Model-model pembelajaran yang termasuk rumpun Interaksi Sosial, menekankan hubungan antara individu dengan masyarakat dan dengan individu lainnya. Fokus model ini terletak pada proses di mana dengan proses ini realitas dinegosiasi memberikan prioritas pada perbaikan kemampuan individu untuk berhubungan dengan yang lainnya, bergelut dengan proses demokratik dan bekerja secara produktif dalam masyarakat. Termasuk ke dalam rumpun model ini, antara lain : Investigasi Kelompok (Group Investigation), Inkuiri Sosial (Social Inquiry), Metode Laboratorium (Laboratory Method), Yurisprudensial (Yurisprudential), Bermain Peran (Role Playing) dan Simulasi Sosial (Social Simulation).

d. Model Behavioral
Model-model yang termasuk ke dalam rumpun behavioral berpijak pada landasan teoritis yang sama, yakni teori tingkah laku (Behavioral Theory). Dalam penerapannya, model ini banyak menggunakan istilah lain seperti teori belajar, teori belajar sosial, modifikasi tingkah laku, dan terapi tingkah laku. Ciri pokoknya menekankanpada usaha mengubah tingkah laku teramati ketimbang struktur psikologis yang mendasarinya dan tingkah laku yang tidak teramatinya. Model ini mendasarkan pada prinsip kontrol stimulus dan penguatan (Stimulus Control and Reinforcement). Lebih dari model lainnya model behavioral memiliki keterpakaian yang luas dan teruji keefektifannya pada aneka tujuan seperti pendidikan, pelatihan, tingkah laku interpersonal da pengobatan. Tercakup kedalam model ini, antara lain: Manajemen Kontingensi (Contingency Management), Kontrol Diri (Self Control), Relaksasi (Relaxation), Reduksi Stres (Stress Reducation), Pelatihan Asertif (Assertive Training), Desentisasi (Desensitization) dan Pelatihan Langsung (Direct Training).

4. Pengembangan Model Pembelajaran Untuk Mengatasi Masalah Pendidikan IPS

Sejumlah model pendekatan pembelajaran tersebut diatas, masing-masing mengedepankan keunggulan dalam mengupayakan pencapaian sasaran yang diyakini oleh setiap pengembangannya, namun untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin berbeda, harus dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional yang tentu tidak sama. Sekurang-kurangnya dimana, oleh, atau dengan dan terutama untuk siapa proses pembelajaran dilakukan. Khusus berkaitan dengan kebutuhan pembelajaran pada anak usia pertumbuhan, dari sejumlah model tersebut tentunya dapat dirujuk model pendekatan yang menjadi rujukan di atas dengan sebutan model Cognitive Emotion and Social Development. Dasar pandangannya adalah “anak merupakan produk berbagai pengaruh, mulai dari keluarganya, kesehatan, kondisi sosial ekonomi dan sekolah”. Bahwa masing-masing pendekatan pada pandangan teoritis berkenaan dengan stressingnya, dalam praktisnya dapat terjadi saling berkait antara satu pendekatan dengan pendekatan lain secara bersamaan. Untuk itu, memenuhi keperluan teknis operasional dalam mengembangkan pembelajaran Pengetahuan Sosial berbasis pendekatan nilai khususnya, berikut dipetikan langkah teknis sejumlah model pilihan yang dipandang mewakili tuntutan karakteristik materil, peserta didik dan setting sosial yang menjadi lingkungan kultur dan belajar SD/MI umumnya di tanah air. Beberapa dari sejumlah pendekatan yang menjadi rujukan tersebut, secara parsial terliput dalam kerangka teknis model pilihan berikut, antara lain: Model Inkuiri, VCT, Bermain Peta, ITM (STS), Role Playing, dan Portofolio.

1) Model Inkuiri

a) Makna Pembelajaran Inkuiri
Model inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang memfokuskan kepada pengembangan kemampuan siswa dalam berpikir reflektif kritis, dan kreatif. Inkuiri adalah salah satu model pembelajaran yang dipandang modern yang dapat dipergunakan pada berbagai jenjang pendidikan, mulai tingkat pendidikan dasar hingga menengah. Pelaksanaan inkuiri di dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial dirasionalisasi pada pandangan dasar bahwa dalam model pembelajaran tersebut, siswa didorong untuk mencari dan mendapatkan informasi melalui kegiatan belajar mandiri. Model inkuiri pada hakekatnya merupakan penerapan metode ilmiah khususnya di lapangan Sains, namun dapat dilakukan terhadap berbagai pemecahan problem sosial. Savage Amstrong mengemukakan bahwa model tersebut secara luas dapat digunakan dalam proses pembelajaran Social Studies (Savage and Amstrong, 1996). Pengembangan strategi pembelajaran dengan model inkuiri dipandang sanagt sesuai dengan karakteristik materil pendidikan Pengetahuan Sosial yang bertujuan mengembangkan tanggungjawab individu dan kemampuan berpartisipasi aktif baik sebagai anggota masyarakat dan warganegara.

b) Langkah-langkah Inkuiri
Langkah-langkah yang harus ditempuh di dalam model inkuiri pada hakekatnya tidak berbeda jauh dengan langkah-langkah pemecahan masalah yang dikembangkan oleh John Dewey dalam bukunya “How We Think”. Langkah-langkah tersebut antara lain:
•Langkah pertama, adalah orientation, siswa mengidentifikasi masalah, dengan pengarahan dari guru terutama yang berkaitan dengan situasi kehidupan sehari-hari.
•Langkah kedua hypothesis, yakni kegiatan menyusun sebuah hipotesis yang dirumuskan sejelas mungkin sebagai antiseden dan konsekuensi dari penjelasan yang telah diajukan.
•Langkah ketiga definition, yaitu mengklarifikasi hipotesis yang telah diajukan dalam forum diskusi kelas untuk mendapat tanggapan.
•Langkah keempat exploration, pada tahap ini hipotesis dipeluas kajiannya dalam pengertian implikasinya dengan asumsi yang dikembangkan dari hipotesis tersebut.
•Langkah kelima evidencing, fakta dan bukti dikumpulkan untuk mencari dukungan atau pengujian bagi hipotesa tersebut.
•Langkah keenam generalization, pada tahap ini kegiatan inkuiri sudah sampai pada tahap mengambil kesimpulan pemecahan masalah (Joyce dan Weil, 1980).

2) Model Pembelajaran VCT

a) Makna Pembelajaran VCT

VCT adalah salah satu teknik pembelajaran yang dapat memenuhi tujuan pancapaian pendidikan nilai. Djahiri (1979: 115) mengemukakan bahwa Value Clarification Technique, merupakan sebuah cara bagaimana menanamkan dan menggali/ mengungkapkan nilai-nilai tertentu dari diri peserta didik. Karena itu, pada prosesnya VCT berfungsi untuk: a) mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai; b) membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinya baik yang positif maupun yang negatif untuk kemudian dibina kearah peningkatan atau pembetulannya; c) menanamkan suatu nilai kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa sebagai milik pribadinya. Dengan kata lain, Djahiri (1979: 116) menyimpulkan bahwa VCT dimaksudkan untuk “melatih dan membina siswa tentang bagaimana cara menilai, mengambil keputusan terhadap suatu nilai umum untuk kemudian dilaksanakannya sebagai warga masyarakat”.

b) Langkah Pembelajaran Model VCT
Berkenaan dengan teknik pembelajaran nilai Jarolimek merekomendasikan beberapa cara, antara lain:

a. Teknik evaluasi diri (self evaluation) dan evaluasi kelompok (group evaluation)
Dalam teknik evaluasi diri dan evaluasi kelompok pesertadidik diajak berdiskusi atau tanya-jawab tentang apa yang dilakukannya serta diarakan kepada keinginan untuk perbaikan dan penyempurnaan oleh dirinya sendiri:
1) Menentukan tema, dari persoalan yang ada atau yang ditemukan peserta didik
2) Guru bertanya berkenaan yang dialami peserta didik
3) Peserta didik merespon pernyataan guru
4) Tanya jawab guru dengan peserta didik berlangsung terus hingga sampai pada tujuan yang diharapkan untuk menanamkan niai-nilai yang terkandung dalam materi tersebut.

b. Teknik Lecturing
Teknik lecturing, dilalukan guru gengan bercerita dan mengangkat apa yang menjadi topik bahasannya. Langkah-langkahnya antara lain:
1) Memilih satu masalah / kasus / kejadian yang diambil dari buku atau yang dibuat guru.
2) Siswa dipersilahkan memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan menggunakan kode, misalnya: baik-buruk, salah benar, adil tidak adil, dsb.
3) Hasil kerja kemudian dibahas bersama-sama atau kelompok kalau dibagi kelompok untuk memberikan kesempatan alasan dan argumentasi terhadap penilaian tersebut.

c. Teknik menarik dan memberikan percontohan
Dalam teknik menarik dan memberi percontohan (example of axamplary behavior), guru membarikan dan meminta contoh-contoh baik dari diri peserta didik ataupun kehidupan masyarakat luas, kemudian dianalisis, dinilai dan didiskusikan.

d. Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan
Teknik indoktrinasi dan pembakuan kebiasan, dalam teknik ini peserta didik dituntut untuk menerima atau melakukan sesuatu yang oleh guru dinyatakan baik, harus, dilarang, dan sebagainya.

e. Teknik tanya-jawab
Teknik tanya-jawab guru mengangkat suatu masalah, lalu mengemukakan pertanyaan-pertanyaan sedangkan peserta didik aktif menjawab atau mengemukakan pendapat pikirannya.

f. Teknik menilai suatu bahan tulisan
Teknik menila suatu bahan tulisan, baik dari buku atau khusus dibuat guru. Dalam hal ini peserta didik diminta memberikan tanda-tanda penilaiannya dengan kode (misal: baik - buruk, benar – tidak-benar, adil – tidak-adil dll). Cara ini dapat dibalik, siswa membuat tulisan sedangkan guru membuat catatan kode penilaiannya. Selanjutnya hasil kerja itu dibahas bersama atau kelompok untuk memberikan tanggapan terhadap penilaian.

g. Teknik mengungkapkan nilai melalui permainan (games). Dalam pilihan ini guru dapat menggunakan model yang sudah ada maupun ciptaan sendiri.

3) Model Bermain Peta

Keterampilan menggunakan dan menafsirkan peta dan globe merupakan salah satu tujuan penting dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial. Keterampilan menginterpretasi peta maupun globe perlu dilakukan peserta didik secara fungsional. Peta dan globe memberikan manfaat, yaitu: a) siswa dapat memperoleh gambaran mengenai bentuk, besar, batas-batas suatu daerah; b) memperoleh pengertian yang lebih jelas mengenai istilah-istilah geografi seperti: pulau, selat, semnanjung, samudera, benua dan sebagainya; c) memahami peta dan globe, diperlukan beberapa syarat yaitu : (a) arah, siswa mengerti tentang cara menentukan tempat di bumi seperti arah mata angin, meridian, paralel, belahan timur dan barat; (b) skala, merupakan model atau gambar yang lebih kecil dari keadaan yang sebenarnya; (c) lambang-lambang, merupakan simbo-simbol yang mudah dibaca tanpa ada keterangan lain; (d) warna, menggunakan berbagai warna untuk menyatakan hal-hal tertentu misalnya: laut, beda tinggi daratan, daerah, negara tertentu dsb.

4) Pendekatan ITM (Ilmu-Teknologi dan Masyarakat)

a) Kebermaknaan Model Pendekatan ITM
Pendekatan ITM (Ilmu, Teknologi, dan Masyarakat) atau juga disebut STS (Science-Technology-Society) muncul menjadi sebuah pilihan jawaban atas kritik terhadap pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial yang bersifat tradisional (texbook), yakni berkisar masih pada pengajaran tentang fakta-fakta dan teori-teori tanpa menghubungkannya dengan dunia nyata yang integral. ITM dikembangkan kemudian sebagai sebuah pendekatan guna mencapai tujuan pembelajaran yang berkaitan langsung dengan lingkungan nyata dengan cara melibatkan peran aktif peserta didik dalam mencari informasi untuk meemcahkan masalah yang ditemukan dalam kehidupan kesehariannya. Pendekatan ITM menekankan pad aktivitas peserta didik melalui penggunaan keterampilanproses dan mendorong berpikir tingkat tinggi, seperti; melakukan kegiatan pengumpulan data, menganalisis data, melakukan survey observasi, wawancara dengan masyarakat bahkan kegiatan di laboratorium dsb. Oleh karena itu, permasalahan tentang kemasyarakatan sebagaimana adanya tidak terlepas dari perkembangan ilmu dan teknologi, dapat dijawab melalui inkuiri. Dalam kegiatan pembelajaran tersebut peserta didik menjadi lebih aktif dalam menggali permasalahan berdasarkan pada pengalaman sendiri hingga mampu melahirkan kerangka pemecahan masalah dan tindakan yang dapat dilakukan secara nyata. Karena itu, pendekatan ITM dipandang dapat memberi kontribusi langsung terhadap misi pokok pembelajaran pengetahuan sosial, khusus dalam mempersiapkan warga negara agar memiliki kemampuan: a) memahami ilmu pengetahuan di masyarakat, b) mengambil keputusan sebagai warga negara, c) membuat hubungan antar pengetahuan, dan d) mengingat sejarah perjuangan dan peradaban luhur bangsanya.

b) Langkah Pendekatan ITM
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melaksanakan pembelajaran pendekatan ITM antara lain:
1. Menekankan pada paham kontruktivisme, bahwa setiap individu peserta didik, telah memiliki sejumlah pengetahuan dari pengalamannya sendiri dalam kehidupan faktual di lingkungan keluarga dan masyarakat.
2. Peserta didik dituntut untuk belajar dalam memecahkan permasalahan dan dapat menggunakan sumber-sumber setempat (nara sumber dan bahan-bahan lainnya) untuk memperoleh informasi yang dapat digunakan dalam pemecahan masalah.
3. Pola pembelajaran bersifat kooperatif (kerja sama) dalam setiap kegiatan pembelajaran serta menekankan pada keterampilan proses dalam rangka melatih peserta didik berfikir tingkat tinggi.
4. Peserta didik menggali konsep-konsep melalui proses pembelajaran yang ditempuh dengan cara pengamatan (observasi) terhadap objek-objek yang dipelajarinya.
5. Masalah-masalah aktual sebagai objek kajian, dibahas bersama guru dan peserta didik guna menghindari terjadi kesalahan konsep.
6. Pemilihan tema-tema didasarakan urutan integratif.
7. Tema pengorganisasian pokok dari sejumlah unit ITM adalah isu dan masalah sosial yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.

c) Tahapan Metode Pendekatan ITM
(1) Tahap Eksplorasi
Kegiatan eksplorasi merupakan tahap pengumpulan data lapangan dan data yang berkaitan dengan nilai. Peserta didik dengan bantuan LKS secara berkelompok melakukan pengamatan langsung. Eksplorasi dilakukan guna membuktikan konsep awal yang mereka miliki dengan konsep ilmiah.
(2) Tahap Penjelasan dan Solusi
Dari data yang telah terkumpul berdasarkan hasil pengamatan, diharapkan peserta didik mampu memberikan solusi sebagai alternatif jawaban tentang persoalan lingkungan. Peserta didik didorong untuk menyampaikan gagasan, menyimpulkan, memberikan argumen dengan tepat, membuat model, membuat poster yang berkenaan dengan pesan lingkungan, membuat puisi, menggambar, membuat karangan, serta membuat karya seni lainnya.
(3) Tahap Pengambilan Tindakan
Peserta didik dapat membuat keputusan atau mempertimbangkan alternatif tindakan dan akibat-akibatnya dengan menggunakan pengetahuan dan keterampilan yang telah diperolehnya. Berdasar pengenalan masalah dan pengembangan gagasan pemecahannya, mereka dapat bermain peran (Role Playing) membuat kebijakan strategis yang diperlukan untuk mempengaruhi publik dalam mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.
(4) Diskusi dan Penjelasan
Berikutnya guru dan peserta didik melakukan diskusi kelas dan penjelasan konsep melalui tahapan sebagai berikut:
•Masing-masing kelompok melaporkan hasil temuan pengamatan lingkungannya.
•Guru memberikan kesempatan kepada anggota kelas lainnya untuk memberikan tanggapan atau informasi yang relevan terhadap laporan kelompok temannya.
•Guru bersama peserta didik menyimpulkan konsep baru yang diperoleh kemudian mereka diminta melihat kembali jawaban yang telah disampaikan sebelum kegiatan eksplorasi.
•Guru membimbing peserta didik merkonstruksi kembali pengetahuan langsung dari objek yang dipelajari tentang alam lingkungannya.
(5) Tahap Pengembangan dan Aplikasi Konsep
•Guru bertanya pada peserta didik tentang hal-hal yang diliahat dalam kehidupan sehari-hari yang merupakan aplikasi konsep baru yang telah ditemukan.
•Guru dan peserta didik mendiskusikan sikap dan kepedulian yang dapat mereka tumbuhkan dalam kehidupan sehari-hari berkaitan dengan konsep baru yang telah ditemukan.
(6) Tahap Evaluasi
Pada tahapan evaluasi, guru memperlihatkan gambar suasana lingkungan yang berbeda yaitu lingkungan yang terpelihara dan yang tidak terpelihara. Kemudian menggunakan pertanyaan pancingan pada peserta didik sehingga mampu memberikan penilaian sendiri tentang keadaan kedua lingkungan tersebut.
(7) Kegiatan Penutup
Kegiatan penutup merupakan kegiatan penyimpulan yang dilakukan guru dan peserta didik dari seluruh rangkaian pembelajaran. Sebagai bagian penutup, guru menyampaikan pesan moral.
5) Model Role Playing

a) Kebermaknaan Penggunaan Model Role Playing
Role Playing adalah salah satu model pembelajaran yang perlu menjadi pengalaman belajar peserta didik, terutama dalam konteks pembelajaran Pengetahuan Sosial dan Kewarganegaraan didalamnya. Sebagai langkah teknis, role playing sendiri tidak jarang menjadi pelengkap kegiatan pembelajaran yang dikembangkan dengan stressing model pendekatan lainnya, seperti inkuiri, ITM, Portofolio, dan lainnya. Secara komprehensif makna penggunaan role playing dikemukakan George Shaftel (Djahiri, 1978: 109) antara lain:
1) untuk menghayati sesuatu/hal/kejadian sebenarnya dalam realitas kehidupan; 2) agar memahami apa yang menjadi sebab dari sesuatu serta bagaimana akibatnya; 3) untuk mempertajam indera dan perasaan siswa terhadap sesuatu; 4) sebagai penyaluran/pelepasan tensi (kelebihan energi psykhis) dan perasaan-perasaan; 5) sebagai alat diagnosa keadaan; 6) ke arah pembentukan konsep secara mandiri; 7) menggali peran-peran dari pada dalam suatu kehidupan/kejadian/keadaan; menggali dan meneliti nilai-nilai (norma) dan peranan budaya dalam kehidupan; 9) membantu siswa dalam mengklarifikasikan (memperinci) pola berpikir, berbuat dan keterampilannya dalam membuat/ mengambil keputusan menurut caranya sendiri; 10) membina siswa dalam kemampuan memecahakan masalah.
b) Langkah-langkah Role Playing
Adapun langkah-langkahnya, Djahiri (1978: 109) mengangkat urutan teknis yang dikembangkan Shaftel yang terdiri dari 9 langkah dalam tabel berikut.






6) Model Portofolio

a) Makna Pembelajaran Portofolio

Protofolio dalam pendidikan mulai dipergunakan sebagai salah satu jenis model penilaian (Assesment) yang berbasis produk, yakni penilaian yang didasarkan pada segala hasil yang dapat dibuat atau ditunjukan peserta didik, kemudian dihimpun dalam sebuah ‘map jepit’ (portofolio) untuk dijadikan bahan pertimbangan guru dalam memberikan asesmen otentik terhadap kinerja peserta didik.
Sapriya (Winataputra, 2002: 1.16) menegaskan bahwa: “portofolio merupakan karya terpilih kelas/siswa secara keseluruhan yang bekerja secara kooperatif membuat kebijakan publik untuk membahas pemecahan terhadap suatu masalah kemasyarakatan”. Makna pembelajaran berbasis portofolio dalam pembelajaran Pengetahuan Sosial adalah memperkenalkan kepada peserta didik dan membelajarkan mereka “pada metode dan langkah-langkah yang digunakan dalam proses politik” kewarganegaraan/kemasyarakatan.

b) Langkah-langkah Penbelajaran Portofolio

Secara teknis pendekatan portofolio dimulai dengan membagi peserta didik dalam kelas ke dalam beberapa kelompok, lajimnya dilakukan menjadi 4 atau sesuai menurut keadaan dan keperluannya. Berdasarkan urutannya, setiap kelompok membidangi tugas dan tanggungjawab masing-masing, antara lain:
(1) Kelompok portofolio-satu; Menjelaskan masalah, dalam tugasnya kelompokini bertanggung jawab untuk menjelaskan masalah yang telah mereka pilih untuk dikaji dalam kelas.
(2) Kelompok portofolio-dua; Menilai kebijakan alternatif yang diusulkan untuk memecahkan masalah, dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk menjelaskan kebijakan saat ini dan atau kebijakan yang dirancang untuk memecahkan masalah.
(3) Kelompok portofolio-tiga; Membuat satu kebijakan publik yang didukung oleh kelas, dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat satu kebijakan publik tertentu yang disepakati untuk didukung oleh mayoritas kelas serta memberikan pembenaran terhadap kebijakan tersebut.
(4) Kelompok portofolio-empat; Membuat satu rencana tindakan agar pemerintah (setempat) dalam masyarakat mau menerima kebijakan kelas. Dalam tugasnya kelompok ini bertanggung jawab untuk membuat suatu rencana tindakan yang menujukkan bagaimana warganegara dapat mempengaruhi pemerintah (setempat) untuk menerima kebijakan yang didukung oleh kelas.

BAB III

PENUTUP

1. Kesimpulan
Pendidikan IPS adalah disiplin ilmu-ilmu sosial ataupun integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial seperti: sosiologi, sejarah, geografi, ekonomi, dan antropologi yang mempelajari masalah-masalah sosial.
Dalam proses pendidikan IPS , pembelajarannya kurang memperhatikan karakteristik anak usia sekolah dasar, yakni terkait dengan perkembangan psikologis siswa. Anak dalam kelompok usia SD (6-12 tahun) berada dalam perkembangan kemampuan intelektual/kognitifnya pada tingkatan konkrit operasional. Padahal bahan materi IPS penuh dengan pesan-pesan yang bersifat abstrak. Konsep-konsep seperti waktu, perubahan, lingkungan, ritual, akulturasi, demokrasi, nilai, peranan merupakan konsep-konsep abstrak yang dalam program studi IPS harus dibelajarkan kepada siswa SD.
Jika hal ini dibiarkan terus, maka pembelajaran IPS dapat menjadi pelajaran yang membosankan bagi siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukanlah model pembelajaran yang sesuai untuk materi IPS dan memperhatikan karakteristik anak usia SD.
Adapun model pembelajaran yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah pendidikan IPS adalah :
a. Model Inkuiri
b. Model Pembelajaran VCT
c. Model Bermain Peta
d. Pendekatan ITM (Ilmu-Teknologi dan Masyarakat)
e. Model Role Playing
f. Model Portofolio
2. Saran
Dalam mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi di masyarakat, kita harus memiliki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut, program-program pelajaran IPS di sekolah haruslah diorganisasikan secara baik.
Sejumlah model pendekatan pembelajaran yang telah dijelaskan diatas, masing-masing mengedepankan keunggulan dalam mengupayakan pencapaian sasaran yang diyakini oleh setiap pengembangannya, namun untuk penerapan praktis di tempat yang sangat mungkin berbeda. Oleh karena itu harus dikalkulasikan dengan berbagai aspek kondisional yang tentu tidak sama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Lamri Ichas Hamid dan Tuti Istianti Ichas. 2006. Pengembangan Pendidikan Nilai dalam Pembelajaran Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional
http://educare.e-fkipunla.net/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=10
http://massofa.wordpress.com/2008/02/27/pendekatan-konsep-ilmu-teknologi-dan-masyarakat-dalam-pembelajaran-ips-di-sd/
http://pardi74.multiply.com/video/item/1
http://pips-sd.blogspot.com/2008_09_01_archive.html
http://re-searchengines.com/0805arief7.html
http://www.puskur.net/produkpuskur/form/upload/52_Kajian%20Kebijakan%20Kurikulum %20IPS.pdf

Macam-Macam Metode Pembelajaran

Metode adalah cara yang digunakan oleh guru dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas sebagai upaya untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
Metode ceramah.
Dalam metode ceramah proses belajar mengajar yang dilaksanakan oleh guru umumnya didominasi dengan cara ceramah.
Dalam pembelajaran Pendidikan Teknologi Dasar (TIK), ada beberapa motode yang umum digunakan, diantaranya adalah :
a. Metode Tanya jawab
Metode tanya jawab adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan mengahasilkan pertanyaan-pertanyaan yang mengarahkan siswa memahami materi tersebut. Metoda Tanya Jawab akan menjadi efektif bila materi yang menjadi topik bahasan menarik, menantang dan memiliki nilai aplikasi tinggi. Pertanyaaan yang diajukan bervariasi, meliputi pertanyaan tertutup (pertanyaan yang jawabannya hanya satu kemungkinan) dan pertanyaan terbuka (pertanyaan dengan banyak kemungkinan jawaban), serta disajikan dengan cara yang menarik.
b. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mengelola pembelajaran dengan penyajian materi melalui pemecahan masalah, atau analisis sistem produk teknologi yang pemecahannya sangat terbuka. Suatu diskusi dinilai menunjang keaktifan siswa bila diskusi itu melibatkan semua anggota diskusi dan menghasilkan suatu pemecahan masalah.
Jika metoda ini dikelola dengan baik, antusiasme siswa untuk terlibat dalam forum ini sangat tinggi. Tata caranya adalah sebagai berikut: harus ada pimpinan diskusi, topik yang menjadi bahan diskusi harus jelas dan menarik, peserta diskusi dapat menerima dan memberi, dan suasana diskusi tanpa tekanan.
c. Metode Pemberian Tugas
Metode pemberian tugas adalah cara mengajar atau penyajian materi melalui penugasan siswa untuk melakukan suatu pekerjaan. Pemberian tugas dapat secara individual atau kelompok. Pemberian tugas untuk setiap siswa atau kelompok dapat sama dan dapat pula berbeda.
Agar pemberian tugas dapat menunjang keberhasilan proses pembelajaran, maka: 1) tugas harus bisa dikerjakan oleh siswa atau kelompok siswa, 2) hasil dari kegiatan ini dapat ditindaklanjuti dengan presentasi oleh siswa dari satu kelompok dan ditanggapi oleh siswa dari kelompok yang lain atau oleh guru yang bersangkutan, serta 3) di akhir kegiatan ada kesimpulan yang didapat.
d. Metode Eksperimen
Metode eksperimen adalah suatu cara pengelolaan pembelajaran di mana siswa melakukan aktivitas percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri suatu yang dipelajarinya. Dalam metode ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri dengan mengikuti suatu proses, mengamati suatu obyek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri tentang obyek yang dipelajarinya. Di dalam TIK, percobaan banyak dilakukan pada pendekatan pembelajaran analisis sistem terhadap produk teknik atau bahan.
Percobaan dapat dilakukan melalui kegiatan individual atau kelompok. Hal ini tergantung dari tujuan dan makna percobaan atau jumlah alat yang tersedia. Percobaan ini dapat dilakukan dengan demonstrasi, bila alat yang tersedia hanya satu atau dua perangkat saja.
e. Metode Demonstrasi
Metode demonstrasi adalah cara pengelolaan pembelajaran dengan memperagakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, benda, atau cara kerja suatu produk teknologi yang sedang dipelajari. Demontrasi dapat dilakukan dengan menunjukkan benda baik yang sebenarnya, model, maupun tiruannya dan disertai dengan penjelasan lisan.
Demonstrasi akan menjadi aktif jika dilakukan dengan baik oleh guru dan selanjutnya dilakukan oleh siswa. Metoda ini dapat dilakukan untuk kegiatan yang alatnya terbatas tetapi akan dilakukan terus-menerus dan berulang-ulang oleh siswa.
f. Metode Tutorial/Bimbingan
Metode tutorial adalah suatu proses pengelolaan pembelajaran yang dilakukan melalui proses bimbingan yang diberikan/dilakukan oleh guru kepada siswa baik secara perorangan atau kelompok kecil siswa. Disamping metoda yang lain, dalam pembelajaran Pendidikan Teknologi Dasar, metoda ini banyak sekali digunakan, khususnya pada saat siswa sudah terlibat dalam kerja kelompok.
Peran guru sebagi fasilitator, moderator, motivator dan pembimbing sangat dibutuhkan oleh siswa untuk mendampingi mereka membahas dan menyelesaikan tugas-tugasnya
Penyelenggaraan metoda tutorial dapat dilakukan seperti contoh berikut ini:
- Misalkan sebuah kelas dalam bahan ajar Pengerjaan Kayu 2, jam pelajaran pertama digunakan dalam bentuk kegiatan klasikal untuk menjelaskan secara umum tentang teori dan prinsip.
- Kemudian para siswa dibagi menjadi empat kelompok untuk membahas pokok bahasan yang berbeda, selanjutnya dilakukan rotasi antar kelompok.
- Sementara para siswa mempelajari maupun mengerjakan tugas-tugas, guru berkeliling diantara para siswa, mendengar, menjelaskan teori, dan membimbing mereka untuk memecahkan problemanya.
- Dengan bantuan guru, para siswa memperoleh kebiasaan tentang bagaimana mencari informasi yang diperlukan, belajar sendiri dan berfikir sendiri.
Perhatian guru dapat diberikan lebih intensif kepada siswa yang sedang mengoperasikan alat-alat yang belum biasa digunakan.


Metode Pembelajaran Efektif

Belajar atau pembelajaran adalah merupakan sebuah kegiatan yang wajib kita lakukan dan kita berikan kepada anak-anak kita. Karena ia merupakan kunci sukses unutk menggapai masa depan yang cerah, mempersiapkan generasi bangsa dengan wawasan ilmu pengetahuan yang tinggi. Yang pada akhirnya akan berguna bagi bangsa, negara, dan agama. Melihat peran yang begitu vital, maka menerapkan metode yang efektif dan efisien adalah sebuah keharusan. Dengan harapan proses belajar mengajar akan berjalan menyenakngkan dan tidak membosankan. Di bawah ini adalah beberapa metode pembelajaran efektif, yang mungkin bisa kita persiapkan.


MetodeDebat
Metode debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar.

Metode Role Playing
Metode Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:
Melibatkan seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerjasama.
1. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
2. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu yang berbeda.
3. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan permainan.
4. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.


Metode Pemecahan Masalah (Problem Solving)
Metode pemecahan masalah (problem solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem solving sebagai berikut:
1. Melatih siswa untuk mendesain suatu penemuan.
2. Berpikir dan bertindak kreatif.
3. Memecahkan masalah yang dihadapi secara realistis
4. Mengidentifikasi dan melakukan penyelidikan.
5. Menafsirkan dan mengevaluasi hasil pengamatan.
6. Merangsang perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi dengan tepat.
7. Dapat membuat pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving sebagai berikut:
1. Beberapa pokok bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
2. Memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran yang lain.

Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Problem Based Instruction (PBI) memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan dialog.
Langkah-langkah:
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan. Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
2. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
1. Siswa dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar diserapnya dengan baik.
2. Dilatih untuk dapat bekerjasama dengan siswa lain.
3. Dapat memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
1. Untuk siswa yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
2. Membutuhkan banyak waktu dan dana.
3. Tidak semua mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini

Cooperative Script
Skrip kooperatif adalah metode belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
1. Guru membagi siswa untuk berpasangan.
2. Guru membagikan wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
3. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar.
4. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi / menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat / menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya.
5. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas.
6. Kesimpulan guru.
7. Penutup.
Kelebihan:
• Melatih pendengaran, ketelitian / kecermatan.
• Setiap siswa mendapat peran.
• Melatih mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
• Hanya digunakan untuk mata pelajaran tertentu
• Hanya dilakukan dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas pada dua orang tersebut).

Picture and Picture
Picture and Picture adalah suatu metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi urutan logis.
Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:Memakan banyak waktu. Banyak siswa yang pasif.

Numbered Heads Together
Numbered Heads Together adalah suatu metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
1. Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
2. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
3. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok dapat mengerjakannya.
4. Guru memanggil salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil kerjasama mereka.
5. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
6. Kesimpulan.
Kelebihan:
• Setiap siswa menjadi siap semua.
• Dapat melakukan diskusi dengan sungguh-sungguh.
• Siswa yang pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
• Kemungkinan nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
• Tidak semua anggota kelompok dipanggil oleh guru

Metode Investigasi Kelompok (Group Investigation)
Metode investigasi kelompok sering dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b. Merencanakan kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi
Parasiswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d. Analisis dan sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil akhir
Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.

Metode Jigsaw
Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.

Metode Team Games Tournament (TGT)
Pembelajaran kooperatif model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen
Biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II dan seterusnya.
5. Team recognize (penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila rata-ratanya 30-40

Model Student Teams – Achievement Divisions (STAD)
Siswa dikelompokkan secara heterogen kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
1. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
2. Guru menyajikan pelajaran.
3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti.
4. Guru memberi kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi.
6. Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.

Model Examples Non Examples
Examples Non Examples adalah metode belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
1. Guru mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
2. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
3. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan / menganalisa gambar.
4. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut dicatat pada kertas.
5. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
6. Mulai dari komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai tujuan yang ingin dicapai.
7. KKesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.

Model Lesson Study
Lesson Study adalah suatu metode yang dikembangkan di Jepang yang dalam bahasa Jepangnya disebut Jugyokenkyuu. Istilah lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a. Perencanaan.
b. Praktek mengajar.
c. Observasi.
d. Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap praktek mengajar terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok tersebut mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk pembelajaran berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke (2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan kelas.
- Dapat dilaksanakan antar/ lintas sekolah.

Minggu, 08 Mei 2011

Hukum Perkembangan

Hukum Perkembangan

Suatu konsepsi yang biasanya bersifat deduktif dan menunjukkan adanya hubungan yang ajeg(continue) serta dapat diramalkan sebelumnya antara variabel-variabel yang empirik, hal itu lazimnya disebut sebagai hokum perkembangan.

Hukum-hukum perkembangan tersebut antara lain :
1. Hukum Tempo Perkembangan. Bahwa perkembangan jiwa tiap-tiap anak itu berlainan, menurut temponya masing-masing perkembangan anak yang ada. Ada yang cepat (tempo singkat) adapula yang lambat. Suatu saat ditemukan seorang anak yang cepat sekali menguasai ketrampilan berjalan, berbicara,tetapi pada saat yang lain ditemukan seorang anak yang berjalan dan berbicaranya lambat dikuasai. Mereka memiliki tempo sendiri-sendiri.

2. Hukum Irama Perkembangan. Hukum ini mengungkapkan bukan lagi cepat atau lambatnya perkembangan anak, akan tetapi tentang irama atau rythme perkembangan. Jadi perkembangan anak tersebut mengalami gelombang “pasang surut”. Mulai lahir hingga dewasa, kadangkala anak tersebut mengalami juga kemunduran dalam suatu bidang tertentu.

Misalnya , akan mudah sekali diperhatikan jika mengamati perkembangan pada anak-anak menjelang remaja. Ada anak yang menampakkan kegoncangan yang hebat, tetapi adapula anak yang melewati masa tersebut dengan tenang tanpa menunjukkan gejala-gejala yang serius.

3. Hukum Konvergensi Perkembangan. Pandangan pendidikan tradisional di masa lalu berpendapat bahwa hasil pendidikan yang dicapai anak selalu di hubung-hubungkan dengan status pendidikan orang tuanya. Menurut kenyataan yang ada sekarang ternyata bahwa pendapat lama itu tidak sesuai lagi dengan keadaan. Pandangan lama ini dikuasai oleh aliran nativisme yang dipelopori Schopen Hauer yang berpendapat bahwa manusia adalah hasil bentukan dari pembawaan.

4. Hukum Kesatuan Organ. Tiap-tiap anak itu terdiri dari organ-organ tubuh , yang merupakan satu kesatuan diantara organ-organ tersebut antara fungsi dan bentuknya, tidak dapat dipisahkan berdiri integral. Contoh : perkembangan kaki yang semakin besar dan panjang , mesti diiringi oleh perkembangan otak, kepala, tangan dan lain-lainnya.

5. Hukum Hierachi Perkembangan. Bahwa perkembangan anak itu tidak mungkin akan mencapai suatu phase tertentu dengan spontan, akan tetapi harus melalui tingkat-tingkat atau tahapan tertentu yang tersusun sedemikian rupa sehingga perkembangan diri seorang menyerupai derajat perkembangan. Contoh : perkembangannya pikiran anak, mesti didahului dengan perkembangan pengenalan dan pengamatan.

6. Hukum Masa Peka. Masa peka ialah suatu masa yang paling tepat untuk berkembang suatu fungsi kejiwaan atau fisik seseorang naka. Sebab perkembangan suatu fungsi tersebut tidak berjalan secara serempak antara satu dengan lainnya. Contoh : masa peka untuk berjalan bagi seorang anak itu pada awal tahun kedua dan untuk berbicara sekitar tahun pertama.

Istilah peka pertama kali ditampilkan oleh seorang ahli biologi dari Belanda bernama Hugo de Vries (1848-1935), kemudian istilah tersebut dibawa kedalam dunia pendidikan, khussusnya psikologi oleh Maria Montessori (Italia 1870-1952).

7. Hukum Mengembangkan Diri. Dorongan yang pertama adalah dorongan mempertahankan diri, kemudian disusul dengan dorongan mengembangkan diri. Dorongan mempertahankan diri terwujud misalnya dorongan makan dan menjaga keselamatan diri sendiri. Contoh : * Anak menyatakan perasaan

Jumat, 06 Mei 2011

“Masalah Pendidikan Di Indonesia”


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini sangat memprihatinkan. Ini dibuktikan antara lain dengan data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan, bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Di antara 174 negara di dunia, Indonesia menempati urutan ke-102 (1996), ke-99 (1997), ke-105 (1998), dan ke-109 (1999).
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia antara lain adalah masalah efektifitas, efisiensi dan standardisasi pengajaran. Hal tersebut masih menjadi masalah pendidikan di Indonesia pada umumnya. Adapun permasalahan khusus dalam dunia pendidikan yaitu:
(1). Rendahnya sarana fisik,
(2). Rendahnya kualitas guru,
(3). Rendahnya kesejahteraan guru,
(4). Rendahnya prestasi siswa,
(5). Rendahnya kesempatan pemerataan pendidikan,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
(7). Mahalnya biaya pendidikan.
Tetapi dalam Makalah ini kami hanya membahas tentang masalah pendidikan secara umum.
B. Rumusan Masalah
1.Bagaiman kulitas pendidikan di indonesia?
2. Hal lain yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum?
3. Bagaimana solusi dari permasalahan-permasalan tersebut?
C. Tujuan Penulisan
1. Mendeskripsikan kualitas pendidikan di Indonesia saat ini.
2. Mendeskripsikan hal-hal yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia secara umum.
3. Mendeskripsikan solusi yang dapat diberikan dari permasalahan-permasalahan pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kualitas Pendidikan di Indonesia
Seperti yang telah kita ketahui, kualitas pendidikan di Indonesia semakin memburuk. Hal ini terbukti dari kualitas guru, sarana belajar, dan murid-muridnya. Guru-guru tentuya punya harapan terpendam yang tidak dapat mereka sampaikan kepada siswanya. Memang, guru-guru saat ini kurang kompeten. Banyak orang yang menjadi guru karena tidak diterima di jurusan lain atau kekurangan dana. Kecuali guru-guru lama yang sudah lama mendedikasikan dirinya menjadi guru. Selain berpengalaman mengajar murid, mereka memiliki pengalaman yang dalam mengenai pelajaran yang mereka ajarkan. Belum lagi masalah gaji guru. Jika fenomena ini dibiarkan berlanjut, tidak lama lagi pendidikan di Indonesia akan hancur mengingat banyak guru-guru berpengalaman yang pensiun.
Sarana pembelajaran juga turut menjadi faktor semakin terpuruknya pendidikan di Indonesia, terutama bagi penduduk di daerah terbelakang. Namun, bagi penduduk di daerah terbelakang tersebut, yang terpenting adalah ilmu terapan yang benar-benar dipakai buat hidup dan kerja. Ada banyak masalah yang menyebabkan mereka tidak belajar secara normal seperti kebanyakan siswa pada umumnya, antara lain guru dan sekolah.
“Pendidikan ini menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya,” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono usai rapat kabinet terbatas di Gedung Depdiknas, Jl Jenderal Sudirman, Jakarta, Senin (12/3/2007).
Presiden memaparkan beberapa langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, antara lain yaitu:
•Langkah pertama yang akan dilakukan pemerintah, yakni meningkatkan akses terhadap masyarakat untuk bisa menikmati pendidikan di Indonesia. Tolak ukurnya dari angka partisipasi.
•Langkah kedua, menghilangkan ketidakmerataan dalam akses pendidikan, seperti ketidakmerataan di desa dan kota, serta jender.
•Langkah ketiga, meningkatkan mutu pendidikan dengan meningkatkan kualifikasi guru dan dosen, serta meningkatkan nilai rata-rata kelulusan dalam ujian nasional.
•Langkah keempat, pemerintah akan menambah jumlah jenis pendidikan di bidang kompetensi atau profesi sekolah kejuruan. Untuk menyiapkan tenaga siap pakai yang dibutuhkan.
•Langkah kelima, pemerintah berencana membangun infrastruktur seperti menambah jumlah komputer dan perpustakaan di sekolah-sekolah.
•Langkah keenam, pemerintah juga meningkatkan anggaran pendidikan. Untuk tahun ini dianggarkan Rp 44 triliun.
•Langkah ketujuh, adalah penggunaan teknologi informasi dalam aplikasi pendidikan.
•Langkah terakhir, pembiayaan bagi masyarakat miskin untuk bisa menikmati fasilitas penddikan.
B. Penyebab Rendahnya Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1. Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik untuk dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan sesuai dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru, instruktur, dan trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan melakukan penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak adanya tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Hal ini menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita menginginkan efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita tidak tahu apa tujuan kita.
Selama ini, banyak pendapat beranggapan bahwa pendidikan formal dinilai hanya menjadi formalitas saja untuk membentuk sumber daya manusia Indonesia. Tidak perduli bagaimana hasil pembelajaran formal tersebut, yang terpenting adalah telah melaksanakan pendidikan di jenjang yang tinggi dan dapat dianggap hebat oleh masyarakat. Anggapan seperti itu jugalah yang menyebabkan efektifitas pengajaran di Indonesia sangat rendah. Setiap orang mempunyai kelebihan dibidangnya masing-masing dan diharapkan dapat mengambil pendidikaan sesuai bakat dan minatnya bukan hanya untuk dianggap hebat oleh orang lain.
Dalam pendidikan di sekolah menegah misalnya, seseorang yang mempunyai kelebihan dibidang sosial dan dipaksa mengikuti program studi IPA akan menghasilkan efektifitas pengajaran yang lebih rendah jika dibandingkan peserta didik yang mengikuti program studi yang sesuai dengan bakat dan minatnya. Hal-hal sepeti itulah yang banyak terjadi di Indonesia. Dan sayangnya masalah gengsi tidak kalah pentingnya dalam menyebabkan rendahnya efektifitas pendidikan di Indonesia.
2. Efisiensi Pengajaran Di Indonesia
Efisien adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan proses yang lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses yang baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat meraih standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya pendidikan, waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak hal lain yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang juga berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih baik.
Masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia sudah menjadi rahasia umum bagi kita. Sebenarnya harga pendidikan di Indonesia relative lebih randah jika kita bandingkan dengan Negara lain yang tidak mengambil sitem free cost education. Namun mengapa kita menganggap pendidikan di Indonesia cukup mahal? Hal itu tidak kami kemukakan di sini jika penghasilan rakyat Indonesia cukup tinggi dan sepadan untuk biaya pendidiakan.
Jika kita berbicara tentang biaya pendidikan, kita tidak hanya berbicara tenang biaya sekolah, training, kursus atau lembaga pendidikan formal atau informal lain yang dipilih, namun kita juga berbicara tentang properti pendukung seperti buku, dan berbicara tentang biaya transportasi yang ditempuh untuk dapat sampai ke lembaga pengajaran yang kita pilih. Di sekolah dasar negeri, memang benar jika sudah diberlakukan pembebasan biaya pengajaran, nemun peserta didik tidak hanya itu saja, kebutuhan lainnya adalah buku teks pengajaran, alat tulis, seragam dan lain sebagainya yang ketika kami survey, hal itu diwajibkan oleh pendidik yang berssngkutan. Yang mengejutkanya lagi, ada pendidik yang mewajibkan les kepada peserta didiknya, yang tentu dengan bayaran untuk pendidik tersebut.
Selain masalah mahalnya biaya pendidikan di Indonesia, masalah lainnya adalah waktu pengajaran. Dengan survey lapangan, dapat kita lihat bahwa pendidikan tatap muka di Indonesia relative lebih lama jika dibandingkan negara lain. Dalam pendidikan formal di sekolah menengah misalnya, ada sekolah yang jadwal pengajarnnya perhari dimulai dari pukul 07.00 dan diakhiri sampai pukul 16.00.. Hal tersebut jelas tidak efisien, karena ketika kami amati lagi, peserta didik yang mengikuti proses pendidikan formal yang menghabiskan banyak waktu tersebut, banyak peserta didik yang mengikuti lembaga pendidikan informal lain seperti les akademis, bahasa, dan sebagainya. Jelas juga terlihat, bahwa proses pendidikan yang lama tersebut tidak efektif juga, karena peserta didik akhirnya mengikuti pendidikan informal untuk melengkapi pendidikan formal yang dinilai kurang.
Selain itu, masalah lain efisiensi pengajaran yang akan kami bahas adalah mutu pengajar. Kurangnya mutu pengajar jugalah yang menyebabkan peserta didik kurang mencapai hasil yang diharapkan dan akhirnya mengambil pendidikan tambahan yang juga membutuhkan uang lebih.
Yang kami lihat, kurangnya mutu pengajar disebabkan oleh pengajar yang mengajar tidak pada kompetensinya. Misalnya saja, pengajar A mempunyai dasar pendidikan di bidang bahasa, namun di mengajarkan keterampilan, yang sebenarnya bukan kompetensinya. Hal-tersebut benar-benar terjadi jika kita melihat kondisi pendidikan di lapangan yang sebanarnya. Hal lain adalah pendidik tidak dapat mengomunikasikan bahan pengajaran dengan baik, sehingga mudah dimengerti dan menbuat tertarik peserta didik.
Sistem pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
Dalam beberapa tahun belakangan ini, kita menggunakan sistem pendidikan kurikulum 1994, kurikulum 2004, kurikulum berbasis kompetensi yang pengubah proses pengajaran menjadi proses pendidikan aktif, hingga kurikulum baru lainnya. Ketika mengganti kurikulum, kita juga mengganti cara pendidikan pengajar, dan pengajar harus diberi pelatihan terlebih dahulu yang juga menambah cost biaya pendidikan. Sehingga amat disayangkan jika terlalu sering mengganti kurikulum yang dianggap kuaran efektif lalu langsung menggantinya dengan kurikulum yang dinilai lebih efektif.
Konsep efisiensi akan tercipta jika keluaran yang diinginkan dapat dihasilkan secara optimal dengan hanya masukan yang relative tetap, atau jika masukan yang sekecil mungkin dapat menghasilkan keluaran yang optimal. Konsep efisiensi sendiri terdiri dari efisiensi teknologis dan efisiensi ekonomis. Efisiensi teknologis diterapkan dalam pencapaian kuantitas keluaran secara fisik sesuai dengan ukuran hasil yang sudah ditetapkan. Sementara efisiensi ekonomis tercipta jika ukuran nilai kepuasan atau harga sudah diterapkan terhadap keluaran.
Konsep efisiensi selalu dikaitkan dengan efektivitas. Efektivitas merupakan bagian dari konsep efisiensi karena tingkat efektivitas berkaitan erat dengan pencapaian tujuan relative terhadap harganya. Apabila dikaitkan dengan dunia pendidikan, maka suatu program pendidikan yang efisien cenderung ditandai dengan pola penyebaran dan pendayagunaansumber-sumber pendidikan yang sudah ditata secara efisien. Program pendidikan yang efisien adalah program yang mampu menciptakan keseimbangan antara penyediaan dan kebutuhan akan sumber-sumber pendidikan sehingga upaya pencapaian tujuan tidak mengalami hambatan.
3. Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara tentang standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati proses untuk menentukan standar yang akan diambil.
Dunia pendidikan terus berudah. Kompetensi yang dibutuhka oleh masyarakat terus-menertus berunah apalagi di dalam dunia terbuka yaitu di dalam dunia modern dalam ere globalisasi. Kompetendi-kompetensi yang harus dimiliki oleh seseorang dalam lembaga pendidikan haruslah memenuhi standar.
Seperti yang kita lihat sekarang ini, standar dan kompetensi dalam pendidikan formal maupun informal terlihat hanya keranjingan terhadap standar dan kompetensi. Kualitas pendidikan diukur oleh standard an kompetensi di dalam berbagai versi, demikian pula sehingga dibentuk badan-badan baru untuk melaksanakan standardisasi dan kompetensi tersebut seperti Badan Standardisasi Nasional Pendidikan (BSNP).
Tinjauan terhadap standardisasi dan kompetensi untuk meningkatkan mutu pendidikan akhirnya membawa kami dalam pengunkapan adanya bahaya yang tersembunyi yaitu kemungkinan adanya pendidikan yang terkekung oleh standar kompetensi saja sehngga kehilangan makna dan tujuan pendidikan tersebut.
Peserta didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai standar pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif dan dapat digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai di atas standar saja.
Hal seperti di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan makna saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Selain itu, akan lebih baik jika kita mempertanyakan kembali apakah standar pendidikan di Indonesia sudah sesuai atau belum. Dalam kasus UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya sistem evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta didik mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat proses yang dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama beberapa tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya mengevaluasi 3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah didikuti oleh peserta didik.
Banyak hal lain juga yang sebenarnya dapat kami bahas dalam pembahasan sandardisasi pengajaran di Indonesia. Juga permasalahan yang ada di dalamnya, yang tentu lebih banyak, dan membutuhkan penelitian yang lebih dalam lagi
Penyebab rendahnya mutu pendidikan di Indonesia juga tentu tidah hanya sebatas yang kami bahas di atas. Banyak hal yang menyebabkan rendahnya mutu pendidikan kita. Tentunya hal seperti itu dapat kita temukan jika kita menggali lebih dalam akar permasalahannya. Dan semoga jika kita mengetehui akar permasalahannya, kita dapat memperbaiki mutu pendidikan di Indonesia sehingga jadi kebih baik lagi.
Selain beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini akan dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia.
1. Rendahnya Kualitas Sarana Fisik
2. Rendahnya Kualitas Guru
3. Rendahnya Kesejahteraan Guru
4. Rendahnya Prestasi Siswa
5. Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan
6. Rendahnya Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
7. Mahalnya Biaya Pendidikan
C. Solusi dari Permasalahan-permasalahan Pendidikan di Indonesia
Untuk mengatasi masalah-masalah di atas, secara garis besar ada dua solusi yang dapat diberikan yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan –seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan– berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan Islam dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini wajib dihentikan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang menggariskan bahwa pemerintah-lah yang akan menanggung segala pembiayaan pendidikan negara.
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.
Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kualitas pendidikan di Indonesia memang masih sangat rendah bila di bandingkan dengan kualitas pendidikan di negara-negara lain. Hal-hal yang menjadi penyebab utamanya yaitu efektifitas, efisiensi, dan standardisasi pendidikan yang masih kurang dioptimalkan.
Adapun solusi yang dapat diberikan dari permasalahan di atas antara lain dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan, dan meningkatkan kualitas guru serta kesejahteraan guru agar mampu meningkatkan prestasi siswa.
B. Saran
Perkembangan dunia di era globalisasi ini memang banyak menuntut perubahan kesistem pendidikan nasional yang lebih baik serta mampu bersaing secara sehat dalam segala bidang. Salah satu cara yang harus di lakukan bangsa Indonesia agar tidak semakin ketinggalan dengan negara-negara lain adalah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya terlebih dahulu.
Dengan meningkatnya kualitas pendidikan berarti sumber daya manusia yang terlahir akan semakin baik mutunya dan akan mampu membawa bangsa ini bersaing secara sehat dalam segala bidang di dunia internasional.


Daftar Pusataka

• http://forum.detik.com.
• http://tyaeducationjournals.blogspot.com/2008/04/efektivitas-dan-efisiensi-anggaran.
• http://www.detiknews.com.
• http://www.sib-bangkok.org.
• Pidarta, Prof. Dr. Made. 2004. Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta.
• sayapbarat.wordpress.com/2007/08/29/masalah-pendidikan-di-indonesia.

Sejarah Pendidikan di Indonesia

Sekolah pendidikan dasar telah diperkenalkan oleh Belanda di Indonesia. Sekolah

yang tadinya hanya untuk kalangan keturunan belanda, dengan etische politiek (kepotangan budi) di negara jajahan belanda (1870) mulai membuka sekolahan bagi kaum bumi putera (SR). Hal tersebut nampaknya juga akibat pengaruh faham humanisme dan kelahiran baru yang melanda negeri Belanda.
Program utamannya saat itu mungkin hanya untuk kepentingan Belanda juga (untuk meningkatkan produktivitas ditanah jajahannya). Untuk Perguruan tinggi dimulai dengan berdirinya sekolah-sekolah kejuruan. Misal STOVIA(1902) yang kemudia berubah jadi NIAS(1913) dan GHS adalah cikal bakal dari fakultas kedokterannya UI. Lalu juga Rechts School (1922) dan Rechthoogen School (1924) kemudian melebur jadi fakultas hukumnya UI. Juga disusul beberapa fakultas lainya.

Di Bandung dimana bung Karno sekolah juga berasal dari sekolah teknik THS (1920) dan di Bogor dibuat juga sekolah perkebunan (1941) adalah cikal bakal IPB sekarang. Bila kemudian didirikan UI (1950) atau UGM (1945) adalah leburan dari yang sudah ada dan kemudian ditambahkan fakultas lainnya. Perlu dicatat pula universitas tua lainnya seperti ITB (1959), IPB (1963), Unair (1963), dan universitas swasta tertua kita adalah UII (1948). Barangkali bisa dimaklumi bahwa pendidikan di Indonesia masih sangat muda dibanding pendidikannya Plato. Walaupun sebenarnya sejak jamannya pangeran Aji Saka (abad 3) telah diperkenalkan huruf jawa dengan mencontoh huruf di India selatan, jadi pemerintahan Jawa Dwipa sudah mengenal pendidikan.

Demikian pula abad 5 pendeta Budha memperkenalkan ajarannya (tentunya mengandung unsur pendidikan. Berdirinya Borobudur boleh di anggap sebagai parameter tingginya ilmu arsitektur (diabad 8) oleh Raja Sailendra Samaratungga. Dicatat pula Candi Prambanan (Hindu) yang elok itu dibangun di abad 9 jamannya raja Sanjaya. Raja agung Airlangga (1019) boleh dianggap raja paling toleran dan melindungi umat berbeda agama (hal ini tentunya tidak terjadi sebelumnya). Tidak kurang di Indonesia juga ada ahli filosuf atau mungkin sebagai nabinya wong jowo yaitu Raja Joyoboyo (1157), siapa yang tak kenal dengan primbonnya Joyo boyo.

Namun sayang selama perjalanan sejarah bangsa Indonesia selalu disertai dengan perang saudara (jauh sebelum Belanda datang, sudah cakar-cakaran, jangan hanya Belanda yang disalahkan sebagai provokator dengan politik adu kambinya, ternyata bakat ini belum hilang sampai sekarang). Bahkan Patih Gadjah Mada yang dianggap pemersatupun (dengan sumpahnya yang sakti) adalah hanya untuk penguasaan dan menunjukkan kehebatan Majapahit. Tentu ini juga berpengaruh pada pendidikan secara umum, dan sebaliknya bisa jadi pendidikan ikut mempengaruhinya. Menengok perjalanan sejarah bangsa Indonesia perlu dibahas tersendiri.

Gambaran sejarah pendidikan di Indonesia saat ini bisa dialami bersama. Dari gambaran diatas ternyata masalah pendidikan bukan sekedar tergantung pada teory dan ilmu pendidikan itu saja, tapi juga iklim social budaya dan politik ikut berperan. Namun bukan alasan untuk tidak memperbaharui kehidupan melalui pembaharuan konsep pendidikan itu sendiri. Jadi reformasi pendidikan adalah mutlak perlu dilakukan terus menerus sesuai perubahan pemahaman umat akan kehidupan itu sendiri.

Dimana Peter Drucker melihat pergeseran kebutuhan manusia, dari ekonomi yang berbasiskan benda tak bergerak dan jasa menuju ekonomi berbasiskan ilmu pengetahuan, perlu di renungkan. Lebih jauh Drucker mengemukakan bahwa tahapan agraris, industri dan kini informasi adalah tidak lama lagi tergeser pada era inovasi. Apa itu inovasi dan persyaratannya adalah bahan pekerjaan rumah bersama. Bila generasi kita saat ini setress gara-gara tidak tahu bahasa jawanya anak kerbau, atau hafalan lainya. Jangan disalahkan bila kemudian hari negara Indonesia menjadi negara terbelakang yang menunggu petunjuk, menunggu pemerintahannya waras, menunggu dan menunggu. Namun untung ada film anak-anak pokemon, digimon, tweenies, bob builder dan sejenisnya yang barangkali jadi hiburan anak sekaligus menjadi sarana berfantasi sambil berinovasi, dari pada ngerjakan PR paket pendidikan yang sarat dengan indokrinasi hukum-hukum matematika dan hukum lainnya yang harus dipatuhi tanpa syarat.

Sejarah Pendidikan Di Indonesia Sampai Sekarang
Sejarah pendidikan yang akan diulas adalah sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik Belanda di Indonesia (Nasution, 1987:3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan, dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas yang lebih rendah. Pendidikan bagi pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa. Sarana pendidikan dibuat dengan biaya yang rendah dengan pertimbangan kas yang terus habis karena berbagai masalah peperangan.
Knowledge is power
Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah-cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus maju dan berkembang.
Dan proses olah-cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan PENDIDIKAN. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata-laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh ke belakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan ”adopsi” dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terekonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan ”media pembelajaran” yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.



Pendidikan Masa Hindu-Buddha
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
Pendidikan Masa Islam
Sistem pendidikan yang ada pada masa Hindu-Buddha kemudian berlanjut pada masa Islam. Bisa dikatakan sistem pendidikan pada masa Islam merupakan bentuk akulturasi antara sistem pendidikan patapan Hindu-Buddha dengan sistem pendidikan Islam yang telah mengenal istilah uzlah (menyendiri). Akulturasi tersebut tampak pada sistem pendidikan yang mengikuti kaum agamawan Hindu-Buddha, saat guru dan murid berada dalam satu lingkungan permukiman (Schrieke, 1957: 237; Pigeaud, 1962, IV: 484—5; Munandar 1990: 310—311). Pada masa Islam sistem pendidikan itu disebut dengan pesantren atau disebut juga pondok pesantren. Berasal dari kata funduq (funduq=Arab atau pandokheyon=Yunani yang berarti tempat menginap).
Bentuk lainnya adalah, tentang pemilihan lokasi pesantren yang jauh dari keramaian dunia, keberadaannya jauh dari permukiman penduduk, jauh dari ibu kota kerajaan maupun kota-kota besar. Beberapa pesantren dibangun di atas bukit atau lereng gunung Muria, Jawa Tengah. Pesantern Giri yang terletak di atas sebuah bukit yang bernama Giri, dekat Gersik Jawa Timur (Tjandrasasmita, 1984—187). Pemilihan lokasi tersebut telah mencontoh ”gunung keramat” sebagai tempat didirikannya karsyan dan mandala yang telah ada pada masa sebelumnya (De Graaf & Pigeaud, 1985: 187).
Seperti halnya mandala, pada masa Islam istilah tersebut lebih dikenal dengan sebutan ”depok”, istilah tersebut menjadi nama sebuah kawasan yang khas di kota-kota Islam, seperti Yogyakarta, Cirebon dan Banten. Istilah depok itu sendiri berasal dari kata padepokan yang berasal dari kata patapan yang merujuk pada arti yang sama, yaitu “tempat pendidikan. Dengan demikian padepokan atau pesantren adalah sebuah sistem pendidikan yang merupakan kelanjutan sistem pendidikan sebelumnya.

Pendidikan Masa Kolonial
Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan ala Eropa.
Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memihak rakyat, seperti misalnya Taman Siswa dan Muhammadiyah.
Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional (pesantren) sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: Mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal macam sekolah dan pesantren.
Pendidikan: Berawal dari Keluarga
Pendidikan abad 21 diwarnai dengan pengaruh globalisasi. Berbagai sistem pendidikan berlomba-lomba diadopsi, dikembangkan dan disesuaikan. Institusi-institusi pendidikan mulai menjamur. Namun muncul kritik dari beberapa orang seperti Ivan Illich, yang menganggap sistem pendidikan hanya berorientasi untuk menghasilkan tenaga kerja untuk kepentingan industri semata. Pendidikan kehilangan maknanya sebagai sarana pembelajaran.
Kemudian muncul sebuah ide Home Schooling, yaitu pendidikan yang tidak mengandalkan institusi formal, tapi tetap bisa dilakukan di rumah sesuai kurikulum. Home Schooling adalah pola pendidikan yang dilatarbelakangi adanya ketidakpercayaan terhadap fenomena negatif yang umum terdapat pada institusi formal: adanya bullying, serta metode yang didaktis dan seragam.


Namun bukan berarti institusi pendidikan formal tidak menyesuaikan diri. Kini, timbul kesadaran bahwa prestasi bukanlah angka-angka yang didapat di ujian, atau merah-birunya rapor. Melainkan adanya kesadaran akan pentingnya sebuah kurikulum berdasarkan kompetensi.
Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggung jawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orangtua yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang: Pendidikan berawal dari keluarga.